Emansipasi Wanita |
Mendadak, beberapa ibu-ibu yang kujumpai di halte bus Transjakartamengenakan pakaian kebaya lengkap dengan sanggulnya. Para kru perempuan bus Transjakarta, Selasa (21/4/2009), berdandan cantik di luar kebiasaan dengan mengenakan pakaian kebaya dan adat-adat nasional mengantar para penumpang. Ratusan polisi wanita (Polwan) di kantor Satuan Administrasi Satu Atap (Samsat) Jakarta Selatan dan BPKB Polda Metro pun tidak mau ketinggalan mengenakan kebaya. Tak hanya itu saja, di Denpasar Bali, peringatan hari kartini dilakukan dengan cara yang cukup unik, yaknibermain surfing atau selancar mengenakan kebaya. Sebanyak 20 surfer wanita dari komunitas surfer di Pantai Kuta dan 3 diantaranya wisatawan asing ambil bagian dari peringatan kartini ini. Begitulah beberapa cara sebagian orang merayakan dan memperingati Hari Kartini.
Sebagian kalangan mengenal Raden Adjeng Kartini hanya sebatas pahlawan nasional. Sebagian lagi mengenal Kartini sebagai seorang tokoh atau aktivis feminisme masa lampau dikarenakan tulisan-tulisannya yang dianggap menyuarakan semangat perlawanan perempuan terhadap kungkungan adat (Jawa) dan agama (Islam).
Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini, dilahirkan di Jepara, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879 dan meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada usia yang terbilang muda, 25 tahun.
Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di seokolah, Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Pada masa kecilnya, Kartini mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan ketika belajar mengaji (membaca Al-Quran). Ibu guru mengajinya memarahi beliau ketika Kartini menanyakan makna dari kata-kata Al-Quran yang diajarkan kepadanya untuk membacanya. Sejak saat itu timbullah penolakan pada diri Kartini terhadap Islam dan Al Quran. Pemberontakan dan kritisisasinya sangat keras. Hal ini bisa kita baca pada awal-awal tulisan dan surat menyuratnya yang dibukukan dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?” [Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899]
“Berdiri bulu kuduk bila kita berada dalam lingkungan keluarga bumiputera yang ningrat. Bercakap-cakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya, harus perlahan-lahan, sehingga orang yang didekatnya sajalah yang dapat mendengar. Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut “kuda liar”. [Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899]
Sebagai ungkapan pemberontakan, Kartini juga menuliskan sebuah tulisan dalam surat-suratnya yang menampakkan wajah dunia barat yang ia anggap lebih berperadaban tinggi. Agar setaraf dengan Barat, Kartini merasa perlu untuk mengejar ilmu ke Barat. Barat adalah kiblat Kartini setelah melepaskan diri dari kungkungan adat.
”Pergilah ke Eropa. Itulah cita-citaku sampai nafasku yang terakhir. [Surat Kartini kepada Stella, 12 Januari 1900]
“Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih. [Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 1900]”
Demikianlah api pemberontakan yang menggelora di dalam jiwa seorang Kartini pada awalnya. Ia merasa bahwa peradaban yang baik adalah peradaban dunia dan bangsa barat. Peradaban timur hanyalah sebuah peradaban kuno, rendah, dan sama sekali tidak bebas. Jika karena ide-ide dan gagasan itu seorang Kartini memperoleh anugerah seorang pahlawan, maka tidak sepantasnya ia menerima gelar itu.
Hingga kemudian, pada suatu kesempatan, ia menghadiri sebuah majelis pengajian yang dipimpin Kyai Haji Mohammad Sholeh bin Umar (atau dikenal dengan Kyai Sholeh Darat) tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini memperlihatkan ketertarikan dengan materi yang disampaikan. Agaknya ini menjadi sebuah hal yang wajar dan dapat dipahami mengingat selama ini Kartini hanya membaca dan menghafal Quran tanpa tahu maknanya. Tradisi pada waktu itu dalam belajar Al Quran adalah dengan belajar menghafalkannya. Selanjutnya, terjadilah sebuah dialog kecil antara Kartini dengan Kyai Sholeh Darat.
“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?” tanya Kartini.
Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini.“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”. Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya.
“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”tanya Kartini kritis.
Semenjak memperoleh pencerahan dari dialog itu, maka Kartini mulai berubah arah pemikirannya sedikit demi sedikit, pelan perlahan namun pasti. Arahan pemikiran-pemikirannya mulai terbaca pada tulisan-tulisan sesudahnya. Pandangannya terhadap dunia barat bergeser.
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902]
Kartini pun kemudian mengkritik dan menentang dengan bahasa yang lembut praktek Kristenisasi yang berlangsung di Hindi Belanda.
“Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? …. Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?” [Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 31 Januari 1903]
Di masa perubahan pemikiran-pemikirannya, Kartini berkata, “Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]
Penentangannya terhadap adat Jawa yang terbaca pada surat-surat sebelumnya mulai mereda setelah memperoleh banyak pencerahan. Ia pun menulis, “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902]
Inilah sebuah gagasan akhir seorang Kartini, yang pada akhirnya menerima suntingan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Gagasannya tidaklah seperti gagasan kaum feminis-feminis sekarang ini yang dengan gencarnya mengusung emansipasi yang justru terpeleset menjadi “emang nyimpangi”. Sayangnya, pergolakan dan arah perubahan seorang Kartini belum terlalu tuntas.Ia meninggal pada tanggal 13 September 1904 dalam usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan putera satu-satunya, RM Soesalit.
Dalam surat Al Baqarah Ayat 257, Kartini menemukaan kata-kata yang amat menyentuh nuraninya “Orang-orang yg beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya” (Minadzdzulumaati Ilan Nuur ) yang di kemudian hari dijadikan sebuah judul buku kumpulan surat-suratnya, Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Pertanyaanku kepada kawan-kawan, apakah ada hubungan antara Kartini dengan pakaian kebaya dan adat nasional pada perayaan-perayaan Hari Kartini?
Lentera Langit
May 30, 2012 at 8:45 PM